banner 728x250

Dana Desa: Uang Rakyat yang Dirampok dengan Modus Sistemik

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Sugeng Purnomo, Ketua Aliansi Jurnalis Persada Way Kanan

Dana Desa semestinya menjadi instrumen keadilan bagi masyarakat pedesaan Indonesia—alat untuk membangun infrastruktur, memberdayakan warganya, dan memperkuat kemandirian daerah. Namun, realitas menyakitkan menunjukkan bahwa ribuan kepala desa dan perangkatnya menyalahgunakan amanah ini.

banner 325x300

Dari rentang 2015 hingga 2024, tercatat 591 putusan korupsi Dana Desa melibatkan 640 terdakwa, dengan total kerugian negara mencapai Rp 598,13 miliar—setara dana desa untuk 744 desa jika diasumsikan Rp 800 juta per desa. Pelaku terdiri atas 60% kepala desa, disusul bendahara dan perangkat desa lainnya hingga mencapai 81,8% dari total kasus.

Korupsi Dana Desa berlangsung dengan pola yang berulang: kegiatan fiktif, pekerjaan di bawah standar, mark-up anggaran, dan penyalahgunaan wewenang. Infrastruktur menjadi sektor paling rentan diselewengkan. Padahal aturan sudah jelas, pengelolaan Dana Desa dilakukan oleh TPK (Tim Pelaksana Kegiatan), bukan oleh kepala desa. Kepala desa hanya memiliki fungsi koordinatif, Tetapi fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya—banyak kepala desa justru mengambil alih semua kegiatan, memonopoli keputusan, bahkan menjadi “pengusaha proyek” di desanya sendiri. Larangan bagi kepala desa untuk menjadi pengelola Dana Desa kerap dilanggar secara telanjang. TPK hanya dijadikan formalitas, sementara kendali penuh ada di tangan kepala desa. Dari sinilah pintu korupsi semakin terbuka lebar.

Contoh kasus penyelewengan dana desa tersebar di banyak daerah. Di Tangerang tahun 2025, Kepala Desa Gembong terbukti korupsi, merugikan negara hingga Rp 1,381 miliar lewat laporan fiktif dan penyalahgunaan dana. Di Bone, Sulawesi Selatan, tahun 2022 terjadi korupsi pembangunan fisik tak sesuai RAB dengan kerugian negara Rp 180 juta. Di Gresik, Jawa Timur, Kepala Desa Pasinan Lemah Putih menyeleweng Rp 113 juta dari Rp 614 juta Dana Desa 2016; sebagian dikembalikan dan divonis 1 tahun penjara. Di Bengkulu Tengah, kasus pembangunan jalan, gudang, dan tower sinyal diduga menggunakan SPJ fiktif dengan kerugian awal Rp 250 juta. Di Pulau Sebangau Jaya, Kalimantan Tengah, sebuah GOR desa runtuh karena pembangunan asal-asalan; audit mencatat kerugian Rp 865 juta. Di Kabupaten Cirebon tahun 2022, korupsi pajak APBDes antara 2019–2021 melibatkan 73 desa, dengan kerugian mencapai Rp 2,8 miliar. Di Bintan, Kepulauan Riau, seorang tenaga honorer keuangan korupsi Dana Desa tahun 2023 dengan kerugian Rp 433 juta. Sedangkan di Landak, Kalimantan Barat, tahun 2021 terjadi penyelewengan oleh kaur keuangan dengan kerugian Rp 326,9 juta.

Angka-angka di atas bukan sekadar statistik—mereka adalah saksi bisu pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Dana Desa, yang seharusnya membantu membangun masa depan desa, malah dirubah menjadi ladang gelap korupsi. Kerusakan ini menunjukkan sebuah sistem yang membusuk: ketika laporan fiktif, mark-up anggaran, dan proyek abal-abal menjadi norma, bukan penyimpangan—di situ integritas telah karam. Jika dibiarkan, masa depan desa sebagai entitas berkembang dan mandiri akan tertutup—digantikan oleh bayang-bayang kegagalan dan ketidakadilan.

Transparansi bukan sekadar jargon. Laporan penggunaan Dana Desa harus terbuka dan mudah diakses publik—melalui papan informasi, portal desa, hingga media lokal. Musyawarah Desa harus menjadi ruang demokrasi sejati, bukan formalitas di mana elit lokal menentukan segalanya. Media wajib melakukan peliputan dan pemantauan kritis hingga ke akar kasus, agar tak ada lagi yang bisa bersembunyi. Penegak hukum harus memberi efek jera, menghukum pelaku penyelewengan tanpa pandang bulu, apa pun jabatan dan kedekatannya.

Dana Desa adalah hak rakyat—bukan ajang memperkaya diri. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan integritas, triliunan rupiah Dana Desa hanya akan menjadi bancakan para oknum kades.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *