LampungSelatan — Rencana penyesuaian tarif pada ruas Jalan Tol Bakauheni–Terbanggi Besar (Bakter) kembali menuai perhatian publik. Informasi dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menyebutkan bahwa evaluasi tarif dilakukan setiap dua tahun sekali sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jalan Tol.
Penyesuaian tarif tol ditentukan berdasarkan inflasi daerah serta pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM), yang meliputi aspek kecepatan tempuh, keselamatan, kenyamanan, hingga kelengkapan fasilitas rest area. Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Selatan mencatat inflasi tahun 2025 berada pada angka 2,65 persen (year on year). Dengan demikian, kenaikan tarif idealnya tidak melebihi persentase inflasi, kecuali terjadi peningkatan signifikan dalam pelayanan.
Mengacu pada rumus penyesuaian tarif yang umum digunakan BPJT:
Tarif baru = Tarif lama × (1 + Inflasi)

Data resmi menunjukkan seluruh rute Golongan I dari Gerbang Tol Kota Baru mengalami penyesuaian. Ke Lematang naik dari Rp5.500 menjadi Rp7.500 atau 36,36 persen. Ke Natar meningkat dari Rp24.000 menjadi Rp32.500 atau 35,42 persen. Ke Tegineneng Barat dan Tegineneng Timur naik dari Rp40.500 menjadi Rp54.000 atau masing-masing 33,33 persen. Ke Sidomulyo naik dari Rp53.500 menjadi Rp72.000 atau 34,58 persen. Ke Kalianda meningkat dari Rp69.500 menjadi Rp93.000 atau 33,81 persen. Ke Gunung Sugih naik dari Rp70.000 menjadi Rp94.000 atau 34,29 persen. Ke Terbanggi Besar naik dari Rp83.500 menjadi Rp112.000 atau 34,13 persen. KebBakauheni Utara naik dari Rp94.000 menjadi Rp126.000 atau 34,04 persen, dan Ke Bakauheni Selatan meningkat dari Rp106.000 menjadi Rp142.000 atau 33,96 persen.
Namun di lapangan, rencana kenaikan ini justru menuai keberatan dari pengguna tol. Kondisi jalan dinilai masih jauh dari ideal. Di sejumlah titik, terutama di ruas Bakauheni hingga Kotabaru, perbaikan jalan dan pengalihan lajur masih kerap terjadi sehingga menghambat perjalanan.
“Setiap hari pasti ada perbaikan. Kadang harus pelan-pelan karena ada pengalihan jalur. Kalau mau naik tarif, seharusnya jalan dan pelayanannya dulu diperbaiki,” ujar Yudi (34), pengendara asal Kalianda, Jumat (7/11/2025).
Selain persoalan perbaikan jalan yang berulang, fasilitas rest area di ruas Bakauheni–Terbanggi Besar juga masih dinilai minim jika dibandingkan dengan ruas tol di Pulau Jawa. Beberapa rest area belum menyediakan fasilitas penunjang seperti area bermain anak maupun stasiun pengisian listrik untuk kendaraan.
Ketua HMI Lampung Selatan, Sandi Aprizal, turut menyampaikan keberatannya atas wacana kenaikan tarif tersebut. Menurutnya, keberadaan Tol Sumatra—khususnya di Lampung—pada dasarnya dibangun untuk mempercepat mobilitas masyarakat dan mendorong aktivitas ekonomi.
“Saya dan banyak pemuda Lampung Selatan yang sering menggunakan ruas Kalianda atau Sidomulyo menuju Bandar Lampung sangat keberatan dengan wacana kenaikan ini. Jika tarif makin mahal, tol ini hanya akan dinikmati kalangan elit. Masyarakat menengah ke bawah tentu terbebani. Kalau bisa, tarif justru diturunkan secara bertahap, bukan dinaikkan,” tegasnya.
Ia menambahkan, kenaikan tarif juga berpotensi menghambat upaya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan yang tengah mengembangkan daerah sebagai tujuan wisata melalui konsep agro dan duwet wisata. Tarif tol yang tinggi dikhawatirkan membuat wisatawan luar daerah berpikir ulang untuk berkunjung ke Kalianda dan sekitarnya.












