Historiografi Toleransi dan Berbhineka, Imlek 2569 Momentum Refleksi Berbangsa Dan Bernegara

0
905
Ketua Umum DPP AJO Indonesia, Rival Achmad Labbaika.

*Oleh Rival Achmad Labbaika*

Imlek tidak hanya menjadi peristiwa penting bagi orang Tionghoa, namun telah menjadi bagian dari peristiwa lintas etnis.

Tahun Baru Imlek 2569-2018 ini merupakan momentum refleksi kebangsaan, di tengah kontestasi politik dan konspirasi antar elit, Hari raya Imlek menjadi media komunikasi antar etnis, budaya dan agama.

Imlek adalah bagian dari tradisi komunal yang mempertemukan ragam budaya, dari moment besar inilah , bisa kita saksikan narasi panjang historiografi bangsa dalam toleransi dan berbhineka.

Selama kurun 1968-1999, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Rezim Orde Baru di bawah Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Inpres Nomor 14/1967 melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk Imlek di Indonesia.

Ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa, tahun 1966, Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay mengusulkan pelarangan terhadap perayaan kebudayaan Tionghoa. Namun, kala itu Soeharto menilai usulan tersebut  berlebihan. Soeharto tetap mengizinkan perayaan kebudayaan Tionghoa, namun secara tertutup.

Aturan itu kemudian diresmikan dengan Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sebelumnya pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari raya umat beragama Nomor 2/OEM-1946.

Pada Pasal 4 peraturan itu menyebut tahun baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng (membersihkan makam leluhur), dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek), sebagai hari libur Nasional.

Setelah Orde Baru warga tionghoa tak bisa mementaskan seluruh kebudayaannya di muka umum. Larangan ini tak lepas dari kondisi politik di Tanah Air pada saat itu.

Selepas peristiwa G30S, Pemerintah Orde Baru khawatir keturunan Tionghoa akan menyebarkan paham komunis di Indonesia. Setelah reformasi Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa.

Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Sejak itulah kebudayaan Tionghoa kembali menggeliat. Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.

Pada Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional.

Bhineka Tunggal Ika yang menjadi slogan bangsa Indonesia benar-benar telah dicontohkan oleh sorang Gus Dur, beliau sangat layak dijadikan contoh dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.

Gus Dur memiliki pemikiran keagamaan, keindonesiaan dan kemodernan yang relevan dengan konteks bangsa Indonesia yang majemuk.

Karena hanya dengan persatuan dan kedamaian bangsa yang besar akan mudah terwujud. Imlek tahun ini, menjadi momentum untuk mengetengahkan kembali visi, pemikiran dan perjuangan Gus Dur pada masa kini.

Momentum Imlek dapat menjadi monumen kultural, agar perjuangan Gus Dur diteruskan sebagai estafet politik kebangsaan dan keindonesiaan. “Gong xi fa cai”.

*Rival Achmad Labbaika Adalah Praktisi Media, Pemimpin Redaksi Celebesnews.id, Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJO Indonesia)*

LEAVE A REPLY