Aktivis Lampung Tolak Kriminalisasi Pejuang Agraria

0
735

Aktivis Lampung Tolak Kriminalisasi Pejuang Agraria

id
Aktivis Tolak Kriminalisasi Pejuang Agraria, Kriminalisasi Pejuang Agraria Lampung, Kasus BNIL Lampung

Aktivis Lampung Tolak Kriminalisasi Pejuang AgrariaAktivis Lampung, di LBH Bandarlampung, Selasa (18/10), menyampaikan sikap penolakan kriminalisasi pejuang agraria dalam kasus sengketa lahan PT BNIL di Tulangbawang. (FOTO: ANTARA Lampung/Ist)

Bandarlampung (ANTARA Lampung) – Para aktivis dan elemen masyarakat di Provinsi Lampung yang tergabung dalam Pusat Perjuangan Rakyat Lampung (PPPRL) sepakat menolak segala kriminalisasi kepada pejuang agraria di daerah ini.
Penolakan itu disampaikan perwakilan LBH Bandarlampung, Walhi Lampung, KBH Lampung, EW LMND Lampung, FSBKU-KSN, ICRM, LADA, Kawan Tani, AGRA, SMI, FMN, Watala, PPI, SP, Dewan Rakyat Lampung, YKWS, Yabima, GKSBS, AJI Bandarlampung, Seknas Jokowi Lampung, KPA Lampung, BMI, PKKL, JPP, dan Mitra Bentala, dalam pertemuan di LBH Bandarlampung, Selasa.
Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi didampingi wakil elemen PPPRL itu, menyampaikan penolakan atas tuduhan provokator terhadap petani dalam konflik lahan dengan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL) di Kabupaten Tulanngbawang.
Menurut dia, sejak 2 Oktober 2016, konflik agraria di Kabupaten Tulangbawang antara PT BNIL dengan masyarakat masih menyisakan masalah.
Apalagi saat ini anggota Serikat Tani Korban Gusuran BNIL (STKGB) masih ditahan di Polres Tulangbawang sebanyak 7 orang, yakni Sukirman (Ketua Dewan Pimpinan STKGB), Sukirji (Sekretaris DP STKGB), Sujarno (anggota DP STKGB) dan Hasanudin (anggota STKGB), Juanda (anggota STKGB) dan Rajiman (anggota STKGB), dan Sugianto (fasilitator).
"Apa yang terjadi dengan petani yang tergabung dalam STKGB merupakan tindakan sistematis dari perusahaan untuk melakukan kriminilisasi dan membuat konflik horizontal, perusahaan membayar pam swakarsa untuk menjadi lawan petani, sehingga ada alasan bagi Kepolisian untuk mengusir masyarakat di lahan yang sedang disengketakan dan menangkap petani yang dituduh sebagai provokator.
Kajian Bersama
Berdasarkan kajian LBH Bandarlampung, Walhi dan berbagai elemen di Lampung, disebutkan pada tahun 1980-an masyarakat adat Marga Aji di Tulangbawang menyerahkan tanah seluas 150.000 ha kepada pemerintahan setempat, agar tanah tersebut diperuntukkan sebagai lahan transmigrasi Desa Bujuk Agung yang merupakan program dari pemerintahan saat itu.
Penyerahan lahan seluas itu untuk menjawab persoalan semakin bertambah jumlah penduduk di Pulau Jawa sehingga pemerintah berinisiatif melakukan program transmigrasi.
Namun pada tahun 1991, tanah tersebut diplasmakan melalui Program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dengan PT BNIL hingga berkembang menjadi persoalan dengan tidak adanya kejelasan terkait pengelolaan dan ganti rugi yang dilakukan pemerintah dan perusahaan.
Kondisi itu akhirnya berdampak terhadap semakin tidak jelas nasib masyarakat transmigrasi yang ada di sana dalam hal pengelolaan lahan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Karena itu, masyarakat Bujuk Agung mengklaim memiliki hak atas tanah di wilayah yang saat ini dikuasai oleh PT BNIL dan tengah menjadi sengketa.
Dalam proses pengelolaan lahan yang dilakukan PT BNIL dinilai banyak menimbulkan permasalahan lingkungan, di antaranya alih fungsi lahan sawit menjadi tebu dengan tidak memenuhi persyaratan tidak adanya analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Pelanggaran terhadap Peraturan Daerah Tulangbawang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan putusan kasasi Mahkamah Agung yang memenangkan Pemkab Tulangbawang atas pencabutan izin alih fungsi lahan dari tanaman sawit ke tanaman tebu.
Dedy Mawardi dari Seknas Jokowi Lampung menyatakan, setiap kali terjadi konflik agraria dengan perusahaan, masyarakat atau petani menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Pada konflik lahan tahun 1990-an terdapat 9 orang petani yang meninggal dunia, dan tanah mereka yang merupakan pembagian Dinas Transmigrasi diambil secara paksa oleh PT BNIL sampai dengan saat ini.
Belakangan akibat sengketa itu, pihak kepolisian telah menangkap dan mengkriminalisasikan 6 orang petani dan 1 orang pendamping petani.
Elemen masyarakat Lampung itu sepakat pula melakukan pendampingan litigasi terkait penahanan 7 warga di Tulangbawang terkait konflik lahan dengan PT BNIL itu.
Pemerintah dinilai elemen itu, tidak pernah menanggapi aduan dari warga, sehingga masyarakat dengan keterbatasannya coba melakukan pendudukan lahan.
"Tegas bahwa mereka bukan provokatif seperti yang dituduhkan. Kerusuhan awal oktober kemarin merupakan akibat dari tindakan provokasi yang dilakukan pam swakarsa perusahaan BNIL," ujar Alian Setiadi.
Perusahaan BNIL dianggap tidak memiliki AMDAL, melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan melanggar UUPPLH sehingga pihak BNIL seharusnya juga dilakukan pengusutan secara pidana, ditambah lagi peralihan pengelolaan lahan dari perusahaan sawit ke tebu belum ada izin hak guna usaha (HGU)-nya.
"Usaha pemerintah membentuk satgas tanpa melibatkan warga masyarakat di desa sekitarnya, tidak akan menyelesaikan apa-apa, karena seharusnya ada keterlibatan warga di dalamnya agar semua jelas, dan kepastian kepemilikan lahan oleh petani segera selesai," ujar Alian.
Karena itu, elemen PPPRL mendesak pemerintah daerah dan Provinsi Lampung menghentikan segala aktivitas perkebunan PT BNIL karena tidak memiliki izin. Kemudian, mendorong Kepolisian Daerah Lampung melakukan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap UU No 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup.
Mereka juga mendesak menghentikan semua proses kriminalisasi terhadap 6 orang petani dan 1 pendamping petani yang ditahan Polres Tulangbawang.
Satgas yang dibentuk oleh Pemprov juga didesak segera menyelesaikan konflik agraria, yaitu mengembalikan tanah kepada petani dan menghentikan kriminalisasi terhadap petani.
PPPRL juga minta tidak memperpanjang HGU PT BNIL dan mencabut HGU-nya, sehingga lahan yang tersedia dibagikan kepada petani setempat sesuai dengan semangat Nawacita Presiden Jokowi dalam Program Landreform atau pembagian lahan kepada petani.

Editor: Budisantoso Budiman

COPYRIGHT © ANTARA 2016

Tweets by @antaralampung

LEAVE A REPLY